Minggu, 03 Februari 2013

EKONOMI KERAKYATAN

CAPRES/CAWAPRES DAN EKONOMI RAKYAT


Pendahuluan
Menyimak secara serius pernyataan-pernyataan para Capres/Cawapres di media elektronik tentang program-program ekonomi yang dijanjikan kepada rakyat untuk dilaksanakan, jika mereka terpilih, dengan segala maaf saya harus menyatakan sangat prihatin. Pada umumnya para Capres/Cawapres belum memahami benar apa itu ekonomi rakyat, dan karena belum jelas pemahaman mereka mengenai ekonomi rakyat, maka sulit diharapkan dapat dirumuskannya program-program kongkrit bagaimana mengembangkannya, dan yang sangat sering diucapkan bagaimana memberdayakannya.
Yang lebih sering kita dengar justru bukan konsep tentang ekonomi rakyat, tetapi ekonomi kerakyatan, yang menurut mereka harus diberdayakan juga. Maka mereka dengan bersemangat menyatakan akan menyusun dan melaksanakan program pemberdayaan ekonomi kerakyatan padahal ekonomi kerakyatan sebagaimana tercantum jelas dalam Propenas (UU No. 25/2000) adalah sistem ekonomi. Sistem ekonomi dapat dikembangkan dan yang jelas dilaksanakan, tidak diberdayakan, karena yang diberdayakan adalah orangnya, pelakunya, yaitu ekonomi rakyat.

Tentang Ekonomi Rakyat
Bung Hatta dalam Daulat Rakyat (1931) menulis artikel berjudul Ekonomi Rakyat dalam Bahaya, sedangkan Bung Karno 3 tahun sebelumnya (Agustus 1930) dalam pembelaan di Landraad Bandung menulis nasib ekonomi rakyat sebagai berikut:
Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)
Jika kita mengacu pada Pancasila dasar negara atau pada ketentuan pasal 33 UUD 1945, maka memang ada kata kerakyatan tetapi harus tidak dijadikan sekedar kata sifat yang berarti merakyat. Kata kerakyatan sebagaimana bunyi sila ke-4 Pancasila harus ditulis lengkap yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang artinya tidak lain adalah demokrasi ala Indonesia. Jadi ekonomi kerakyatan adalah (sistem) ekonomi yang demokratis. Pengertian demokrasi ekonomi atau (sistem) ekonomi yang demokratis termuat lengkap dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi:
Produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang! Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-orang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Memang sangat disayangkan bahwa penjelasan tentang demokrasi ekonomi ini sekarang sudah tidak ada lagi karena seluruh penjelasan UUD 1945 diputuskan MPR untuk dihilangkan dengan alasan naif, yang sulit kita terima, yaitu “di negara-negara lain tidak ada UUD atau konstitusi yang memakai penjelasan”.

Bagaimana memberdayakan ekonomi rakyat
Jika kini telah diyakini bahwa yang harus diberdayakan adalah ekonomi rakyat bukan ekonomi kerakyatan, maka pertanyaan lugas yang dapat diajukan adalah bagaimana (cara) memberdayakan ekonomi rakyat.
Jika ekonomi rakyat dewasa ini masih “tidak berdaya”, maka harus kita teliti secara mendalam mengapa tidak berdaya, atau faktor-faktor apa saja yang menyebabkan ketidakberdayaan pelaku-pelaku ekonomi rakyat itu. Untuk menjawab pertanyaan inilah kutipan pernyataan Bung Karno di atas sangat membantu, yaitu ekonomi rakyat menjadi kerdil, terdesak, dan padam, karena sengaja disempitkan, didesak, dan dipadamkan oleh pemerintah penjajah melalui sistem monopoli, dan (sistem) monopoli ini dipegang langsung oleh pemerintah, atau diciptakan pemerintah dan diberikan kepada segelintir perusahaan-perusahaan konglomerat. Dari keuntungan besar yang diperolehnya kemudian konglomerat memberikan “bagi hasil” kepada pemerintah atau lebih buruk lagi kepada “oknum-oknum pejabat pemerintah”. Inilah salah satu bentuk korupsi melalui koneksi dan nepotisme yang kemudian disebut dengan nama KKN.
Cara yang paling mudah memberdayakan ekonomi rakyat adalah menghapuskan sistem monopoli, yang pernah “disembunyikan” dengan nama sistem tata niaga. Misalnya tataniaga jeruk Kalbar atau tataniaga cengkeh Sulut. Padahal yang dimaksudkan jelas sistem monopoli yang pemegang monopolinya ditunjuk pemerintah yaitu BPPC untuk cengkeh dan Puskud untuk Jeruk Kalbar. Itulah yang pernah kami katakan bahwa “di Indonesia pernghapusan monopoli tidak memerlukan UU Anti Monopoli seperti di AS tetapi jauh lebih mudah dan lebih sederhana yaitu dengan menerbitkan sebuah SK (Surat Keputusan) dari Presiden atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan untuk mencabut monopoli yang sebelumnya memang telah diberikan pemerintah”.
Cara lain yang juga sudah sering kami anjurkan adalah pemberdayaan melalui pemihakan pemerintah. Jika pemerintah bertekad memberdayakan petani padi atau petani tebu misalnya, pemerintah harus berpihak kepada petani. Berpihak kepada petani berarti pemerintah tidak lagi berpihak pada konglomerat seperti dalam kasus jeruk dan cengkeh, yang berarti petani jeruk dan petani cengkeh memperoleh “kebebasan” untuk menjual kepada siapa saja yang mampu memberikan harga terbaik.
Khusus dalam kasus petani padi, yang terpukul karena harga pasar gabah dibiarkan merosot di bawah harga dasar, keberpihakan pemerintah jelas harus berupa pembelian langsung gabah “dengan dana tak terbatas” sampai harga gabah terangkat naik melebihi harga dasar yang telah ditetapkan pemerintah.
Demikian pemberdayaan dan pemihakan pada ekonomi rakyat sangat mudah pelaksanaannya kalau kita terapkan langsung pada ekonomi rakyat, bukan pada ekonomi kerakyatan, yang terakhir ini berarti sistem atau aturan main, yang tidak dapat diberdayakan.
Dengan digantinya oleh pemerintah istilah ekonomi rakyat dengan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang sebenarnya sekedar menterjemahkan istilah asing SME (Small and Medium Enterprises), yang tidak mencakup 40 juta usaha mikro (93% dari seluruh unit usaha), maka segala pembahasan tentang upaya pemberdayaan ekonomi rakyat tidak akan mengena pada sasaran, dan akan menjadi slogan kosong.
Bahkan ada Capres/Cawapres yang secara sangat keliru menyamakan sektor ekonomi rakyat dengan sektor informal, yang hanya diartikan sebagai pelaku-pelaku ekonomi yang tidak berbadan hukum yang selalu “melanggar hukum” sehingga harus “ditindak”. Dan dengan definisi ini kemudian diajukan program pemberdayaan sektor “UKM” dengan secepatnya menjadikan atau “mentransformasi” sektor informal menjadi sektor formal. Jelas usulan program seperti ini tidak masuk akal dan menunjukkan ketidakpahaman Capres/Cawapres yang bersangkutan tentang ekonomi rakyat yang menyangkut hajat hidup 160 juta orang Indonesia yang sebenarnya sudah jauh lebih tua dibanding sektor formal, sektor informal sebaiknya justru yang disebut sektor formal.

Penutup
Tidak terlalu sulit bagi para Capres/Cawapres untuk mengkampanyekan program-program yang benar-benar dapat memberdayakan ekonomi rakyat asal pengertian ekonomi rakyat dipahami secara benar. Ekonomi rakyat adalah ekonominya wong cilik yang telah tergeser, terjepit, dan tersingkir, ketika pemerintah Orde Baru memprioritaskan kebijakan, strategi, dan program-programnya pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus dengan mengabaikan atau menunda pemerataannya. Kini dengan paradigma baru yang menomorsatukan pemerataan dan keadilan sesuai asas-asas ekonomi Pancasila, maka pemberdayaan ekonomi rakyat harus dijadikan kebijakan, strategi, dan program-program utama.
Kami anjurkan para Capres/Cawapres tidak memilih menggunakan istilah “UKM” yang salah kaprah, dan lebih baik mengunakan istilah ekonomi rakyat yang setiap orang yang “tidak terpelajar” pun mengerti persis artinya, yang merupakan istilah dan konsep yang sudah dipakai Bung Karno dan Bung Hatta sejak zaman pergerakan kemerdekaan.


________________________________________
Oleh: Prof. Dr. Mubyarto -- Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM.
<!--[if !supportFootnotes]--> [1]<!--[endif]--> Makalah Seminar Publik Peningkatan Kualitas dan Partisipasi Politik Rakyat Dalam Pemilu, Yogyakarta, 1 Juli 2004.
Nasional-m] Ekonomi Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi
Ambon nasional-m@polarhome.com
Fri Aug 16 00:36:07 2002
•    Previous message: [Nasional-m] Mampukah Tommy seperti AM Fatwa?
•    Next message: [Nasional-m] Agama dan Hermeneutika Liberatif
•    Messages sorted by: [ date ] [ thread ] [ subject ] [ author ]
________________________________________
Media Indonesia, Jum'at, 16 Agustus 2002

Ekonomi Kerakyatan dan Demokrasi Ekonomi
 Dr M Dawam Rahardjo Pengamat ekonomi


SEMENTARA itu, Hatta sendiri berpikiran egaliter sekaligus demokratis.
Koperasi adalah sistem yang memberi jalan kepada pembangunan swadaya dari
bawah dengan partisipasi yang luas. Persoalannya bagi kita sekarang, apakah
pilihan itu tepat bagi dunia yang sedang berubah. Dalam kenyataannya, sistem
ekonomi Indonesia terdiri dari tiga sektor, yaitu swasta, negara, dan
koperasi. Tetapi, di antara ketiga sektor itu, koperasi ternyata merupakan
sektor yang paling tertinggal dan terlemah posisinya.
Pangsa koperasi dari segala aspeknya tidak lebih dari 10%. Hanya saja,
koperasi tidak bisa diabaikan peranannya dalam pencapaian swasembada pangan.
Tentu saja ada beberapa kisah sukses, tetapi terbatas. Kita masih bisa
menyebut keberadaan GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia), Bank Bukopin,
Koperasi 'Jasa' Pekalongan, Koperasi Setia Bhakti Wanita Surabaya, Koperasi
'Jembatan Kesejahteraan' Jakarta, Badan Koordinasi Koperasi Kredit (BK3)
Indonesia (semacam credit union), beberapa ribu KUD (koperasi unit desa),
dan Koperasi BMT (bait al maal wa al tamwil), lembaga kredit mikro yang
paling sukses.

Tapi, pangsa peranannya dalam perekonomian Indonesia masih tetap marjinal
dan masih 'pelengkap penderita' terhadap perekonomian nasional. Itulah
sebabnya, sejumlah ekonom mengusulkan dihapuskannya 'asas kekeluargaan'
sebagai asas perekonomian nasional, dan digantikan dengan sistem 'pasar
berkeadilan' atau 'pasar sosial' walaupun intinya adalah kekeluargaan juga.
Hanya dua dari tujuh ekonom yang tetap ingin mempertahankan Pasal 33 UUD
1945.
Walau demikian, gerakan koperasi di Indonesia masih cukup kuat. Dalam
gerakan itu masih tersimpan secercah harapan yang diharapkan bisa tercapai
melalui beberapa perubahan strategi. Pertama, koperasi sekarang harus lebih
bersandar pada pasar dengan meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan
inovasi. Kuncinya adalah profesionalisasi koperasi dengan memanfaatkan SDM y
ang berkualitas guna membentuk manajemen modern.
Kedua, berkaitan dengan yang pertama, koperasi tidak boleh lagi bergantung
dari bantuan dan intervensi pemerintah. Lagi pula kini sumber daya
pemerintah makin terbatas, terutama sejak dihapuskannya BLBI yang
menyediakan dana murah. Koperasi harus mengandalkan kemampuan menghimpun
dana sendiri dari masyarakat, terutama anggotanya. Kemampuan ini sebenarnya
sudah ditunjukkan, misalnya oleh koperasi BMT. Koperasi harus bisa
mengembangkan lembaga keuangan mikro, misalnya lewat koperasi simpan pinjam
(KSP) dan koperasi syariah (BMT). Di samping Bukopin yang sebenarnya
merupakan perseroan terbatas (sebagian) milik koperasi, perlu dibentuk
sebuah bank koperasi semacam Bank Raifaissen di Jerman.
Ketiga, koperasi harus mengikuti arus globalisasi, misalnya bermitra dengan
koperasi luar negeri atau memasarkan produk anggota-anggotanya ke pasar
global. Di samping itu koperasi telah merintis pusat perkulakan, yaitu Goro.
Usaha ini perlu dilanjutkan dengan membentuk supermarket dan hypermarket,
kalau perlu bekerja sama dengan grup-grup usaha internasional. Jika badan
usaha swasta bisa melakukannya, mengapa koperasi tidak?
***
Dengan melihat perspektif tersebut, maka pemikiran Bung Hatta sebanarnya
masih cukup relevan walaupun perlu mengalami reaktualisasi. Bahkan, kita
bisa mengatakan koperasi adalah sebuah lembaga ekonomi pascakapitalis.
Dewasa ini, sistem kapitalisme mulai ditaklukkan oleh ide 'etika bisnis' dan
'tanggung jawab sosial perusahaan', yang intinya bahwa bisnis itu tidak
semata-mata mengejar keuntungan untuk pemilik modal (share holder).
Melainkan, merupakan lembaga yang merealisasi kepentingan berbagai pihak
(stake holder). Wadah yang paling tepat untuk mewujudkan bisnis yang
beretika itu adalah koperasi. 'Kekeluargaan' adalah istilah yang mewadahi
muatan nilai-nilai seperti kerja sama, kebersamaan, keadilan, dan
partisipasi. Itulah sebenarnya makna demokrasi ekonomi yang dipopulerkan
oleh Bung Hatta.
Namun, dalam perkembangannya telah timbul kemiskinan yang makin tampak
secara sangat mengkhawatirkan pada akhir abad ke-19. Sehingga, menimbulkan
keprihatinan yang mendalam di kalangan liberal di negeri Belanda dan Hindia
Belanda sendiri berdasarkan laporan di parlemen Belanda. Di lain pihak
pemodal Belanda juga merasa tersaing dengan usaha perkebunan golongan Cina
yang maju pesat, sementara perkembangan ekonomi kaum pribumi tertinggal.
Dari situlah lahir politik etis pada 1904 dan sikap simpati kepada ekonomi
rakyat atau ekonomi pribumi.
Sikap simpatik itu antara lain ditunjukkan dengan sambutan terhadap
timbulnya gerakan Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1908. Sebelumnya, pejabat
kolonial Belanda juga telah menunjukkan simpatinya dan membantu timbulnya
bank swadaya yang dipelopori oleh Patih Purwokerto, Tirtoadisuryo.
Perhatian yang lebih komprehensif dari pemerintah kolonial Hindia Belanda
timbul setelah Boeke ditempatkan di kantor perekonomian. Ia mempelajari UU
koperasi yang sesuai untuk masyarakat dan budaya Indonesia. Ia sendiri,
berdasarkan teori dualisme sosial-ekonomi antara sistem kapitalis dan sistem
tradisional, berpendapat bahwa lembaga yang cocok untuk diterapkan pada
perekonomian tradisional adalah koperasi. Dari sinilah agaknya asal usul
gagasan dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang ditulis oleh Bung Hatta,
bahwa 'badan usaha bersama yang sesuai dengan asas kekeluargaan adalah
koperasi'.
Dalam persepsi Bung Hatta sendiri, koperasi adalah sebuah lembaga
perekonomian modern yang berkembang di Eropa Barat. Pada 1926, Bung Hatta,
ketika masih mahasiswa dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda,
pernah diutus bersama dengan rekan seperguruan tingginya di Universitas
Amsterdam, yang kemudian dikenal sebagai Dr Samsi, mengunjungi negara-negara
Skandinavia, dan sangat terkesan dengan perkembangan koperasi Denmark. Ia
melihat koperasi sebagai jalan tengah antara sistem kapitalisme dan
sosialisme walaupun koperasi Skandinavia dan Eropa Barat umumnya bekerja
dalam sistem pasar. Tujuan koperasi bukan untuk menghapuskan pasar,
melainkan untuk bisa mengendalikannya agar bisa memberikan manfaat bagi
orang kecil, seperti buruh, tani, pedagang, dan pengusaha kecil.
Asas kekeluargaan menurut keterangan Hatta, berasal dari Taman Siswa yang
menunjukkan hubungan guru-murid dan bukannya majikan-buruh dalam sistam
kapitalis. Asas kekeluargaan itu dalam kehidupan masyarakat terwujud dalam
lembaga 'gotong-royong'. Dalam gotong-royong itu, nilai kolektif dan
solidaritas sangat tebal. Tapi, Bung Hatta ingin mentransformasikan lembaga
dan nilai tradisional ke dalam lembaga ekonomi modern yang bernama koperasi.
Dalam koperasi tersebut, di samping asas kolektivisme dan solidaritas,
terdapat pula nilai individualitas yang lebih rasional. Mengacu kepada teori
sosiologi modern, lembaga gotong-royong bekerja beradasarkan nilai
solidaritas organik, sedangkan dalam koperasi berlaku nilai solidaritas
fungsional.***


Tentang Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Pendahuluan

Pembentukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dipicu oleh keprihatinan terhadap perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia. Dalam beberapa dekade belakangan ini, perkembangan ilmu dan sistem ekonomi di Indonesia, tidak hanya semakin jauh dari cita-cita proklamasi tetapi juga semakin meminggirkan rakyat dalam proses penyelenggaraan ekonomi.
Secara resmi, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM yang lahir dengan nama Pusat Studi Ekonomi Pancasila, dibentuk pada tanggal 17 Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada No. 177/P/SK/HKTL/2002, dengan Kepala Prof. Dr. Mubyarto (Alm) . Perubahan nama menjadi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan terjadi pada tanggal 3 April 2006 yaitu dengan terbitnya SK Rektor Universitas Gadjah Mada No. 176/P/SK/HT/2006.
Alasan perubahan nama ini antara lain adalah: pertama, untuk menyesuaikan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk menyelenggarakan perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan. Kedua, amanat Tap MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004. Ketiga, amanat Tap MPR No. II/MPR/2002 tentang Rekomendasi Kebijakan Untuk Mempercepat Pemulihan Ekonomi Nasional. Keempat, untuk meningkatkan peran Pusat Studi dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Kelima, untuk memperluas peluang Pusat Studi dalam mengembangkan diri.
Tujuan pendirian PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah untuk melaksanakan kajian-kajian serius dalam bidang teori dan praksis ekonomi Indonesia, baik yang bersifat induktif-empirik maupun deduktif-logis. Kajian-kajian melalui pendekatan multi-disipliner tersebut dijalankan dengan mengacu langsung pada dasar filsafat dan ideologi nasional. Rumusan tentang cita-cita bangsa Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Mekanisme operasional untuk mewujudkan cita-cita tersebut terumuskan dalam pasal 33 ayat 1, 2, dan 3, UUD 1945. Pasal-pasal ini sesungguhnya merupakan upaya perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat dan untuk mengoreksi struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
Kegiatan utama PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM adalah melakukan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan sistem ekonomi kerakyatan di berbagai tempat di Indonesia. Hasil-hasil penelitian tersebut sebagian besar diterbitkan dalam bentuk buku dan artikel ilmiah. Selama periode 2002 – 2005, tidak kurang dari 32 judul buku dan makalah yang diterbitkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan. Kegiatan penting lainnya adalah pelatihan, lokakarya, dan seminar bulanan.
Permasalahan
Permasalahan yang digarap oleh PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM tidak dapat dipisahkan dari semakin dominannya pengaruh globalisasi dalam penyelenggaraan ekonomi Indonesia. Saat ini globalisasi memang merupakan mantra yang selalu harus dilekatkan pada setiap gerak ekonomi, bahkan menjadi resep mujarab (prescription) bagi pemecahan berbagai masalah dunia. Ada keyakinan global bahwa  perdagangan dan pergerakan kapital dan informasi yang berlangsung secara bebas akan menghasilkan hal terbaik bagi kemajuan perekonomian dunia.
Dengan demikian, globalisasi dan liberalisasi dipandang sebagai cara terbaik dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.  Itulah kini yang banyak diyakini orang dan secara sistematis disosialisasikan oleh IMF, Bank Dunia, dan organisasi perdagangan dunia (WTO). Globalisasi dalam pengertian inilah yang  disebut dengan globalisasi neoliberal. Neoliberalisme adalah satu gerakan yang ingin mengusung ideologi kapitalisme-liberalisme klasik yang mendambakan kebebasan penuh, yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir dan kebijakan ekonomi di negara-negara sedang berkembang.
Sementara itu, paradigma pendidikan ekonomi kita berkembang dalam kultur hegemoni ajaran-ajaran ekonomi Neoklasik yang sarat dengan kepentingan kaum fundamentalis pasar.  Paradigma pendidikan ekonomi seperti itu tidak hanya bias terhadap usaha-usaha besar di sektor modern tetapi juga abai terhadap ekonomi rakyat tempat sebagian besar rakyat Indonesia menggantungkan nasibnya. Secara sistematis sistem pendidikan ekonomi yang bercorak kapitalis-neoliberal tersebut dikukuhkan dalam desain kurikulum, metode pembelajaran, buku-buku ajar, dan kerangka berpikir staf pengajar ilmu ekonomi yang berorientasi neoliberal.
VISI
Berdasarkan ideologi nasional, amanat konstitusi, dan  tuntutan permasalahan yang ada, maka visi PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM dirumuskan sebagai berikut:
Menjadi pusat pemikiran, pengembangan, dan simpul utama jaringan gerakan ekonomi kerakyatan di Indonesia
Misi
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai lembaga yang berfokus pada pengembangan pemikiran, penyebarluasan, dan simpul jaringan gerakan ekonomi kerakyatan, maka misi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan-UGM dirumuskan sebagai berikut :
1.  Menyelenggarakan penelitian yang berbasis pada pengembangan sistem ekonomi kerakyatan
2.  Melakukan pelatihan yang berkaitan dengan hasil-hasil penelitian mengenai pengembangan sistem ekonomi kerakyatan
3.  Menyebarluaskan gagasan mengenai  tata kerja dan metode pengukuran perkembangan ekonomi kerakyatan melalui penerbitan publikasi dan dokumentasi.
4.  Mengembangkan forum ilmiah dan diskusi-diskusi kritis dalam perspektif  ekonomi kerakyatan
5.  Membangun jaringan gerakan untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan

Tujuan
Berdasarkan visi dan misi yang telah dirumuskan diatas, dirumuskan tujuan yang ingin dicapai oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan-UGM sebagai berikut:
1.  Berkembangnya kritik terhadap gagasan dan praksis ekonomi yang tidak demokratis
2.  Tumbuhnya kesadaran dan pemahaman bahwa ekonomi kerakyatan adalah kebutuhan bangsa Indonesi
3.  Terwujudnya kerjasama dalam mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dengan berbagai pihak seperti perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan berbagai pihak lainnya.
4.   Tersedianya indikator perkembangan sistem ekonomi kerakyatan berdasarkan variabel-variabel yang terukur.
5.  Terselenggaranya sistem ekonomi kerakyatan sesuai pasal 33 UUD 1945 secara nasional.
Strategi
Dalam rangka melaksanakan visi, misi, dan tujuan tersebut, serta sesuai dengan kapasitas internal dan lingkungan kontekstual yang ada, maka Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan memposisikan diri sebagai kekuatan ”penyeimbang” terhadap pemikiran ekonomi arus utama. Hal itu diwujudkan dalam bentuk pengembangan wacana tandingan (counter hegemony) terhadap hegemoni wacana arus utama.

Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan berupaya agar dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan ekonomi, pada tingkat nasional, sektoral, dan lokal. Hal itu dilakukan melalui pengembangan desain penelitian dan fokus-fokus diskusi yang menempatkan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan di garda depan demokratisasi ekonomi Indonesia. Bahkan PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM akan masuk hingga ke wilayah praksis dengan mengefektifkan jaringan gerakan ekonomi kerakyatan yang ada.
Program
Untuk melaksanakan strategi tersebut maka ditetapkan lima program prioritas PUSAT STUDI EKONOMI KERAKYATAN-UGM sebagai berikut:
1.    penelitian,
2.    pelatihan,
3.    dokumentasi dan publikasi,
4.    pengembangan forum ilmiah, dan
5.    pengembangan jaringan
 Terpinggirnya Ekonomi Kerakyatan

Oleh: M. Alfan Alfian

Di masa pemerintahan Presiden Megawati saat ini, terbersit sebuah ironisme atas nasib
ekonomi kerakyatan. Sektor ekonomi kerakyatan yang menyerap banyak tenaga kerja, serta
terbukti mampu bertahan di masa krisis, ternyata tidak memperoleh dukungan kebijakan
pemerintah yang memadai. Padahal sektor ini tak bisa dibiarkan begitu saja di dalam
pasar bebas yang kompetitif.
Paradigma ekonomi kerakyatan tampaknya kurang diminati oleh pemerintahan Megawati. Hal
ini setidaknya terbaca dari empat hal. Pertama, dalam pidato kenegaraan 16 Agustus
2001, Presiden Megawati, mengungkapkan keraguannya atas konsep ekonomi kerakyatan atau
ekonomi rakyat. Menurutnya, ekonomi kerakyatan sesungguhnya belum jelas benar
pengertian lingkup, dan isi konsepnya. Bahkan, masih bersifat ”membingungkan”
masyarakat. Pernyataan presiden tersebut, sengaja atau tidak, merupakan semacam upaya
dekonstruksi (kalau bukan mementahkan kembali) sistem ekonomi kerakyatan.

Kedua, perimbangan APBN yang belum berpihak kepada ekonomi rakyat. Hal ini bisa dibaca
dari anggaran yang diberikan pada sektor koperasi dan usaha kecil menengah (UKM), yang
masih amat belum memadai. Urusan koperasi dan pengembangan UKM, hanya tertangani oleh
kementerian negara yang ruang geraknya amat terbatas. Belum ditambah lagi dengan
pembubaran Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah
(BPSKPKM) yang memiliki arti penting dalam mengoperasionalisasikan konsep ekonomi
kerakyatan.

Ketiga, pembaruan paket program kebijakan ekonomi dan keuangan antara pemerintah
Indonesia dengan Dana Moneter Internasional (IMF), tanggal 27 Agustus 2001, tampaknya
tidak satu pun dari butir kesepakatan yang ada, menyebutkan keinginan untuk memperkuat
basis ekonomi rakyat.
Keempat, kebijakan pemerintah pun belum pula menunjukkan keberpihakannya pada petani
yang merupakan rakyat kebanyakan. Misalnya, belakangan ini, pemerintah (Bulog)
memutuskan untuk melakukan impor 500.000 ton beras dari Vietnam (untuk dikapalkan
bulan Februari 2002). Pertanyaannya, mengapa pemerintah tidak mengoptimalkan pengadaan
stok beras langsung dari petani? Pemerintah terkesan menggampang saja, dengan
mengabaikan kepentingan jangka panjang ekonomi rakyat.

Kebijakan yang tidak berpihak pada semangat ekonomi kerakyatan ini, merupakan langkah
spekulatif dari pemerintahan Megawati. Tampaknya, pihak pemerintah amat optimis dengan
program pemulihan ekonomi makro yang dijalankan. Padahal, sisi pemulihan ekonomi makro
yang ada, tampak tidak mampu bergerak secara signifikan untuk meningkatkan prestasi
kerja sehingga berdampak baik bagi ekonomi nasional.

Nyaris, yang terjadi saat ini, tim ekonomi nasional, lebih banyak bergantung pada
faktor citra alias image Megawati yang tampak kalem dan tenang. Mengandalkan kharisma
Megawati saja tentu tidak cukup, bahkan cenderung stagnan, bila tak diimbangi dengan
kecanggihan kebijakan yang menerobos, dan menyentuh kepentingan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Kebijakan ekonomi pemerintahan Megawati tampaknya cenderung mementingkan aspek makro,
dan sengaja atau tidak mengabaikan aspek mikro. Pendekatan yang dipakai oleh tim
ekonomi presiden Megawati, agaknya, tak jauh dengan apa yang dilakukan pemerintah Orde
Baru. Pemulihan ekonomi makro, di mana lebih melibatkan pelaku ekonomi menengah atas,
dipercaya bakal mampu memicu pula secara otomatis aspek mikro. Barangkali karena
itulah pendekatan ekonomi kerakyatan, untuk sementara diabaikan kalau tak mau
dikatakan dipinggirkan.

Tampaknya arus besar Meganomics, lebih memihak pada pengembangan ekonomi makro minus
ekonomi kerakyatan. Sektor ekonomi kerakyatan terkesan dibiarkan ”mandiri” dalam
mengatasi segala persoalannya, justru di tengah iklim kompetisi pasar bebas. Terdapat
keyakinan, bahwa bila sektor ekonomi makro pulih, maka sektor ekonomi kerakyatan,
otomatis ikut terangkat.

Harus Diutamakan
Pandangan demikian berbeda dengan pendapat kalangan yang menghendaki agar sektor
ekonomi rakyat juga diutamakan. Alasannya, pertama, ekonomi rakyat telah berjasa dalam
menahan krisis ekonomi secara signifikan. Ekonomi rakyat menampung banyak pengangguran
yang tergusur akibat krisis (menurut BPS tahun 2000 menyerap 88,66% tenaga kerja).
Bahkan ekonomi rakyat, terutama yang berorientasi ekspor dengan bahan baku dalam
negeri, menunjukkan eksistensinya yang kokoh di kala krisis.

Kedua, secara kualitatif pelaku sektor ekonomi kerakyatan, di mana di dalamnya
tertampung koperasi dan UKM, amat tinggi. Data BPS tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah
usaha kecil dan koperasi di Indonesia 99,6%, sisanya baru usaha besar dan konglomerat
(0,2%). Dari segi komposisi volume usaha sejumlah 99,85 persen di bawah Rp 1 miliar,
0,14% antara Rp 1 miliar hingga Rp 50.000 miliar, sisanya (0,01%) di atas Rp 50
miliar. Dari sini tampak bahwa sektor ekonomi kerakyatan bisa sekedar dianggap kecil.

Memang, kontribusi sektor ekonomi kerakyatan terhadap PDB hanya 39,8%, sementara
kelompok ekonomi besar dan konglomerat 60,2%. Pangsa pasarnya juga kalah, yakni hanya
20%, dan sumbangannya terhadap pertumbuhan ekonomi hanya 16,4%. Namun demikian, sektor
ekonomi kerakyatan tak bisa dianggap sepele. Tanpa dukungan pemerintah, serta
membiarkanya bersaing di pasar bebas, tampaknya bukan memecahkan masalah, mengingat
banyak kendala yang dihadapi oleh sektor ini.

Sejak Presiden Megawati memunculkan keraguan atas konsep dan sistem ekonomi
kerakyatan, berbagai respon publik (terutama kalangan akademisi) lantas bermunculan.
Walaupun, nyaris tak ada perbedaan yang terlampau lebar menyangkut definisi ekonomi
rakyat atau ekonomi kerakyatan, namun gagasan ini masih dianggap kontroversial,
terutama di tingkat operasionalisasi.
Gagasan ini, kerap dicurigai sebagai sarana bagi kelompok tertentu untuk melancarkan
agenda-agenda politik mereka. Selain itu, gagasan yang sesungguhnya telah berkembang
sejak lama itu, dianggap tidak konkret dan tidak memiliki peran berarti dalam konteks
ekonomi nasional. Bahkan, gagasan ini dianggap usang dan ”membingungkan”. Tentu saja
”tuduhan-tuduhan” semacam itu amat menyakitkan.

Gagasan ekonomi kerakyatan, sesungguhnya bukanlah hal yang asing. Istilah dan konsep
ekonomi kerakyatan telah tercantum dalam TAP MPR XVI/1998, TAP MPR IV/1999, dan UU
No-25/2000 tentang Propenas. Bahwa dalam ketetapan-ketetapan dan UU di atas tak
disebutkan secara eksplisit tentang ekonomi kerakyatan dan ekonomi rakyat, adalah
karena konsep ini dianggap ”diketahui dengan sendirinya” (Mubyarto, 2001).

Bila ditelusuri lebih jauh semangat filosofis ekonomi kerakyatan, tampak jelas dan
tegas terbetik dan pemikiran ekonomi Hatta konseptor dan penggagas pasal 33 UUD 1945.
Berawal dari keprihatinanya yang mendalam atas praktek imperialisme dan kolonialisme,
Bung Hatta berupaya keras berpikir bagaimana ekonomi rakyat bisa bangkit.

Pikiran ekonomi kerakyatan Hatta lantas, mengerucut lewat gerakan koperasi. Koperasi,
dinilai merupakan pilihan yang paling cocok untuk diterapkan dalam membangkitkan
ekonomi rakyat dan kebetulan juga di dalamnya terkandung prinsip gotong royong.

Pada zaman pemerintahan apa pun, dari Soekarno hingga Megawati Soekarnoputri, wacana
ekonomi kerakyatan tidak pernah mati walaupun terkesan tak pernah memperoleh posisi
yang layak. Sayangnya, ia tampak selalu tenggelam dengan paradigma pembangunan ekonomi
makro, yang amat menekankan tradisi neo-liberal.

Pendekatan neo-liberal memang mampu menenggelamkan sistem ekonomi kerakyatan. Ekonomi
kerakyatan pun dipandang sebagai ”proyek politik” yang ”ditakdirkan selalu gagal”.
Memang, implementasi praktis sistem ekonomi kerakyatan tidak bersifat baku. Dan oleh
sebab itu, di lapangan, ia menjadi begitu fleksibel.

Yang menjadi ciri utama, justru terletak pada semangatnya yakni orientasinya yang
berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Istilah ekonomi rakyat atau ekonomi
kerakyatan pun semakin populer dan, dimasukkan ke dalam GBHN. Maka, sesungguhnya tak
ada alasan untuk meninggalkan ekonomi kerakyatan, hanya karena dianggap petunjuk
implementasinya ”tidak jelas”.

Langkah Mundur
Menyimak lemahnya keberpihakan pemerintah pada ekonomi kerakyatan, agaknya lebih
merupakan langkah mundur kalau tidak boleh dibilang bisa berakibat fatal. Pendekatan
pemulihan ekonomi makro, kerap mengabaikan dimensi keadilan misalnya dengan
mengorbankan ekonomi rakyat. Maka, dengan dipinggirkanya ekonomi kerakyatan, lewat
dicabutnya kewenangan aparat pemerintah untuk menangani hal yang bersentuhan langsung
dengan ekonomi rakyat, tampaknya bukan hal yang tepat.

Di tengah kompetisi global yang kerap bertindak ”kejam”, ekonomi kerakyatan, wajib
perlu dilindungi oleh negara, bukan malah ditelantarkan. Artinya wilayah yang satu ini
(ekonomi rakyat), tak bisa dibiarkan sendirian, dan tertatih-tatih begitu rupa
menghadapi kompetisi global. Tidak hanya diperlukan perlindungan dan subsidi yang
proporsional, tapi yang lebih penting adalah adanya political will dari pemerintah
untuk menghormati dan sungguh-sungguh menegakkan sistem ekonomi kerakyatan.

Maka, merupakan langkah mundur, bila pemerintah mencabut political will-nya dalam
memajukan ekonomi kerakyatan. Hal ini tampaknya tidak akan menyelesaikan persoalan,
justru, dalam banyak hal merupakan bumerang bagi upaya pemerintah memulihkan kondisi
ekonomi nasional.

Bila pemerintah saja tak mendukung pengembangan sistem ekonomi kerakyatan, lantas,
rakyat dibiarkan begitu rupa, maka bagaimana jadinya kelak? Hampir bisa dipastikan,
perekonomian rakyat menengah ke bawah akan makin terpuruk dilindas roda kompetisi
global yang ”mengerikan”.

Bila ini dibiarkan, boleh jadi hanya akan memperbesar biaya sosial yang harus dipikul.
Adalah amat fatal bila kebijakan utama pemulihan ekonomi makro, harus menyingkirkan
kebijakan ekonomi kerakyatan. Akan lebih runyam kondisinya bila, ternyata kebijakan
pemulihan ekonomi makro gagal, sementara ekonomi kerakyatan telah terbengkelai akibat
diabaikan keberadaannya.

Penulis adalah peneliti Yayasan Katalis dan ACG Consulting Group Jakarta



---------------------------------------------------------------------

   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar